MARI BERBAGI, MEMBUAT HIDUP LEBIH BERARTI
>

04 November 2014

BPJS dan KIS, Jelas Berbeda!

Pemerintahan baru, Jokowi-JK kemarin resmi meluncurkan KIS (Kartu Indonesia Sehat), KIP (Kartu Indonesia Pintar), dan KKS (Kartu Kesejahteraan Keluarga). Sejumlah pertanyaan bergulir, apa bedanya? Tulisan berikut semoga membantu menjelaskan.

http://simomot.com/2014/11/03/kartu-indonesia-sehat-dan-bpjs-apa-bedanya/

http://www.tempo.co/read/news/2014/11/03/173619213/p-Jokowi-Tebar-Program-Kartu-di-19-Kota

30 Juni 2014

Peran Kelompok Masyarakat Sipil dalam Mendorong Reformasi Lokal

http://akatiga.org/index.php/acara/item/240-peran-kelompok-masyarakat-sipil-dalam-mendorong-reformasi-lokal

Sebuah kota yang maju tentunya berasal dari perubahan-perubahan yang telah dilakukan dari kerja sama antara pemerintah kota, lembaga-lembaga pendukung dan juga penduduk kota itu sendiri. Dalam proses perubahan tersebut pastinya terdapat kendala-kendala sampai terwujudnya tujuan dari perubahan itu sendiri. Pada diskusi AKATIGA tanggal 17 Mei 2013, ini seorang aktivis kelompok masyarakat sipil dan juga Direktur Eksekutif dari PPK Madani, Wahidah R. Bulan, berbagi hasil disertasinya mengenai Local Reform di Kota Solo pada Era Kepemimpinan Jokowi.
Dalam diskusi ini Wahidah juga ingin mengeksplorasi peran-peran yang diambil masyarakat sipil dalam konteks kepemimpinan kuat dan reformist untuk mendorong perbaikan layanan publik di Kota Surakarta, beliau menceritakan penelitiannya yang memakan waktu sampai 5 tahun, relasi yang terjalin beliau lihat dari penataan PKL dan resettlement penduduk di bantaran Bengawan Solo. Pada kasus PKL, awal reform yang terbangun ada pada kepala daerah dan DPRD. Beliau menganalisis dalam dua bentuk yaitu member dan challenger. Dalam penelitiannya pergeseran dari challenger ke member banyak terjadi, tetapi dari member ke challenger tidak terjadi dalam dua kasus tersebut. Perubahan challenger menjadi member terjadi karena peran walikota, peran aktor-aktor masyarakat sipil dan menggunakan pendekatan komunikasi.
Peserta yang menghadiri diskusi ini berasal dari perkumpulan aktivis sosial, peneliti AKATIGA dan lembaga jaringan AKATIGA di Bandung, mereka sangat antusias untuk mengetahui bagaimana kepemimpinan Jokowi dapat membawa perubahan yang menjadikan Kota Solo semakin maju. Kebanyakan dari mereka ingin tahu bagaimana peran partai dalam membantu kesuksesan Jokowi dan bagaimana peran NGO mendorong perubahan tersebut.
Birokrasi yang dianggap mudah pada masa Jokowi karena kebanyakan karena dari mereka “nurut”,  tetapi ternyata tidak semudah yang dibayangkan karena banyak juga terjadi penolakan-penolakan. Untuk menaklukan penolakan ini Jokowi memberi keteladanan, dan sosialisasi yang terus menerus.
Dari penelitiannya tersebut, Wahidah menyimpulkan bahwa sebenarnya untuk teman-teman NGO yang ingin melakukan perubahan, ruang-ruang itu sangat terbuka untuk masuk karena kebutuhan PEMDA untuk mendorong reform belum terpenuhi dengan birokrasi yang ada dengan DPRD terutama penguasaan lapangan, mereka memerlukan data-data yang lebih real, menggalang hubungan dari publik perlu bantuan dari challenger yang mana contohnya adalah dari NGO. Dalam birokrasi mereka sangat membutuhkan kehadiran teman-teman NGO, tetapi pendekatan dari NGO harus lebih komunikatif. Terlihat dari kasus kemari, kehadiran NGO sangat membantu membuat para member lebih progresif kerjanya. Mereka membutuhkan ide-ide segar yang ada idealismenya, yang real tentang penguasaan lapangan, pendampingan yang simultan, yang tidak bisa didapatkan dari birokrasi.
Sinergi antara state dan non state actor (kelompok masyarakat sipil), tetapi bagi NGO juga harus ada mandat yang jelas dari CSO atau kelompok yang diwakili. Strategi komunikasi dari CSA di Solo efektif untuk mempengaruhi kepala daerah. Dan untuk menemukan kepala daerah yang tepat dan pro reform juga salah satu aspek terpenting bagi proses perubahan suatu kota.